The Last Artichel for Happines and Sadness
Allah menciptakan makhluknya
berpasang-pasangan. Ada laki-laki ada perempuan. Ada kanan ada kiri. Ada siang
ada malam. Ada kebahagiaan ada juga kesedihan.
Dan dari keberpasangan itulah
manusia menemukan sebuah arti dari maknanya, salah satunya adalah cinta. Cinta
kepada Penciptanya, cinta pada kedua orang tua, dan cinta kepada sesama makhluk
Sang Pencipta.
Begitupun aku, pernah merasakan
anugerah yang Tuhan berikan pada makhluknya. Aku percaya dan selalu percaya
bahwa perasaan itu tak pernah hadir begitu saja. Dan aku juga selalu percaya
bahwa perasaan yang pernah kurasakan saat itu pada orang yang telah Allah
gariskan jua, bukan sembarang orang yang memang ingin aku cintai.
Aku tak pernah membuat
pernyataan bahwa aku dia dan cinta kita adalah sebuah cinta yang suci dan tidak
ingin ternodai oleh apapun, namun aku dan dia memiliki prinsip dan pemahaman
agama yang sama. Aku hanya tulus mencintai dia sebagaimana aku ingin dia selalu
bahagia dan tawadhu pada Allah Ta’ala. Aku hanya ingin membantunya kala dia
susah, aku hanya ingin membuatnya senang ketika dia merasa tercekik beban, dan
aku hanya ingin menjadi teman perjuangannya. Aku tak menginginkan lebih darinya.
Namun adakalanya hati seseorang
berubah dan berpindah. Dari satu ke dua, dari dua ke tiga, dari tiga ke empat
dan seterusnya. Aku tahu cepat atau lambat hal itu akan terjadi. Aku tahu
kapanpun hati itu akan berpaling, seperti sifatnya yang selalu berbolak balik.
Begitupun dengan aku dan dia. Dengan hubungan kami dan perasaan yang kian
memudar. Dengan kepercayaan hati yang kami miliki. Aku tahu dia akan berubah,
aku tahu dia akan pergi. Cepat atau lambat.
Meyakini bahwa inipun kehendak
Illahi, aku berusaha mengikhlaskannya pergi, melepas kepergiannya dengan
perasaannya. Walaupun aku tak tahu sebenarnya bagaimana perasaannya ketika dia
pergi saat itu. Aku hanya bisa melepasnya dengan tangisan keikhlasan. Aku
ikhlas, karena aku dipertemukan dengannya pun oleh Tuhan. Aku ikhlas, karena
aku diberi perasaan ini oleh Tuhan. Makanya akan kukembalikan pada tempatnya
setelah aku dipinjaminya. Dia bukan milikku. Tapi milik Tuhanku. Aku hanya
dipinjaminya beberapa saat dan harus kukembalikan ke tempat asalnya.
Mungkin Tuhan Ridho atau Tuhan
tidak Meridhoinya. Aku hanya mengikuti apa yang menjadi suratannya. Aku hanya
berusaha menjadi pemain terbaik dalam serial dunianya. Aku hanya ingin menjadi
seperti orang lain yang taat dan tunduk pada Penciptaku. Walau sebenarnya aku
banyak merasakan dijatuhkan dan disengsarakan. Entah itu oleh kehidupanku atau
oleh perasaanku sendiri.
Tapi melupakan bukan sebuah
perkara yang gampang. Aku harus menata ulang kembali perasaanku yang telah berpisah
menjadi mozaik-mozaik kecil karena seorang pemain yang hadir dalam kehidupanku.
Sehebat apapun kupertahankan perasaan itu, akhirnya harus ku enyahkan sejauh
mungkin. Karena memang seperti itu sekenarionya. Walaupun bukan perkara mudah,
bukan berarti tak bisa dilakukan. Ini hanya masalah waktu dan kekuatan yang
harus aku miliki dan aku kerahkan sebaik mungkin.
Perasaan itu hebat, namun tak
boleh kita pasang harga mati untuk melakukannya. Allah memperingatkan kita
untuk tidak berlebih-lebihan dalam suatu hal. Begitu juga berlaku pada perasakan
yang kita tanamkan. Karena sejatinya hanya Allah lah yang abadi. Bukan manusia,
bukan juga perasaan.
Sehebat apapun kupertahankan...
Takkan pernah bisa kulawan...
Sgala ketetapan...
Yang Tuhan berikan...
Dengan ikhlas engkau
kulepaskan...
Komentar
Posting Komentar