Hakikat Manusia
Konsep Manusia menurut Tuhan
1. Proses Penciptaan Manusia
Membicarakan tentang proses penciptaan manusia, tentu saja tidak
akan lepas dari membicarakan tentang Alquran yang juga menjelaskan bagaimana
proses terjadinya kelahiran manusia itu sendiri. Sebelum dijelaskan tentang
hakikat manusia, maka harus diketahui pula asal-usul manusia, dan bagaimana
terjadinya proses penciptaan manusia.
Alquran
dan hadits sangat konsisten menjelaskan bahwa manusia mengalami dua tahap
penciptaan. Pertama, tahap ghaib (tak terlihat), yang terjadi di zaman
primordial atau azali, dan hanya dapat diketahui melalui pengetahuan wahyu. Kedua,
tahap biologis alami, yang manusia sendiri dapat mengetahuinya melalui
pengalaman dan pengetahuan ilmiah[1].
a.
Penciptaan Tahap Pertama
Pada tahap
pertama, Alquran menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari tiada, dari
substansi organik yang rendah dengan sebutan tanah liat gelap (shalshal/hama’),
debu dan lumpur (turab/tin lazib), lalu ditiupkan padanya ruh dari Allah SWT[2].
Q.S. Al-Hijr: 28-29
28.
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering
(yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk 29. Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku,
maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
Pada tahap ini pula, Allah SWT sudah
meminta persaksian kepada manusia bahwa Dia adalah Rabbnya, dan semua Bani Adam
pun mengutarakan persaksiannya[3].
Q.S. Al-A’raf:172
172.
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"
Al-Attas menyebutkan sebuah konsep
keberutangan manusia dengan Tuhan. Kondisi keberutangan ini mencegahnya dari
menganggap diri, kehidupan, dan tubuhnya sebagai miliknya yang bisa dipakai
semaunya[4].
Dalam konsepsi Islam mengenai agama,
Al-Attas mengatakan bahwa keberutangan itu pada awalnya bermula dari peristiwa
yang terjadi ketika manusia belum diberi jasad dan masih berada dalam bagian
kesadaran Tuhan, tepatnya pada Waktu Sebelum Perpisahan (Time of the
Pre-Separation)[5].
Dan berangkat dari ayat itulah perjanjian Tuhan dengan manusia tersebut
terjadi.
Al-Attas juga mempopulerkan ayat ini
sebagai ayat yang menjadikan landasan kesadaran manusia untuk beragama. Karena
sejatinya, ketika kita berhutang pada seseorang, maka kita pun harus sanggup
untuk membayarnya apalagi ini kita berjanji pada Allah, maka harus dibayar pula
dengan kesanggupan kita untuk menaati perintah dan menjauhi larangan Nya.
Perkara diciptakannya manusia
sebagai hamba dan Khalifah Allah SWT di muka bumi telah lama tuntas pada waktu
sebelum perpisahan (Time of the Pre-Separation) tepatnya ketika Tuhan
mengumumkan kepada para malaikat bahwa Dia akan menciptakan khalifah di atas
muka bumi[6].
Sebagaimana di sebutkan dalam Q.S. Al-Mu’minun ayat 12 sampai 14.
b.
Penciptaan
tahap kedua
Pada tahap yang
kedua ini adalah tahap dimana penciptaan manusia mampu di fahami oleh ilmu
pengetahuan: sperma disimpan dalam rahim yang kokoh, kemudian diubah menjadi
segumpal darah, yang kemudian dibungkus dengan tulang dan daging[7].
Q.S.
Al-Mu’minun:12-14
12. Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah.13. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim).14. Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal
daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus
dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka
Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.
Dalam hadits,
proses penciptaan manusia itu dijelaskan sebagai berikut:
اِنَّ اَحَدَ كُم يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ اُمّهِ اَرْبَعِيْنَ
يَوْمًا ثُمّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ
ذَلِكَ ثُمّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ
ذَلِكَ ثُمّ يَبْعَثُ اللّهُ مَلَكًا فَيُؤمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ
لَهُ اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَاَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ ثُمًّ
يُنْفَخُ فِيْهِ الرُوْحُ
“Sesungguhnya masing-masing dari kalian dikumpulkan
penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal
darah selama itu juga (40 hari), lalu menjadi segumpal daging selama itu juga
(40 hari). Kemudian Allah mengutus malaikat yang diberi perintah dengan empat
hal. Difirmankan kepada malaikat itu “Tulislah amalnya, rizkinya, ajalnya,
dan celaka atau bahagianya.” Setelah itu ditiupkan kepadanya ruh.
Ini
artinya manusia bukanlah sesosok jasad semata yang hidup di alam kasat mata,
melainkan seseorang yang juga terikat secara ruhaniah dengan peraturan Rabbnya
swt. Selain itu, kehidupannya juga tidak hanya berkutat di alam dunia ini
semata, melainkan terikat secara primordial dengan kehidupan pasca-dunia,
dimana dia harus mempertanggung jawabkan seluruh amanahya[8]. Sebagaimana ditegaskan-Nya:
Al-mu’minun:
15-16
15. Kemudian,
sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.16. Kemudian,
sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.
Dalam kaitan ini Alquran dan hadits
juga secara konsisten menjelaskan bahwa kebahagiaan dan kesuksesan manusia itu
terletak pada sejauh mana dia bisa mempertahankan kesetiaannya berhubungan
dengan Rabb dan dengan sendirinya mengutamakan akhirat[9].
2. Unsur dan Inti Manusia
a.
Unsur Manusia
Di
awal sudah dijelaskan hakikat manusia, yang berarti kita harus mempunyai
pengertian tentang hakikat manusia itu sendiri untuk mendesain pendidikan apa
yang baik untuk manusia. Maka penjelasan yang terbaik adalah penjelasan manusia
yang bersumber dari Sang Penciptanya. Seperti seorang tukang mebel akan sangat
mengetahui apa yang di buatnya daripada orang lain yang hanya melihat dan
membelinya saja. Begitupun manusia, daripada manusia lain yang sebenarnya akal
dan kemampuan nalarnya yang terbatas, Allah yang menciptakannya akan lebih tahu
daripada manusia itu sendiri. Mengapa di katakan bahwa manusia lemah mengenai
akal dan kemampuan berfikirnya? Menurut buku Prof. Dr. Ahmad tafsir, bukti terbaik tentang keterbatasan akal ialah
akal itu tidak mengetahui apa akal itu sendiri.
Berikut
akan di jelaskan hakikat manusia menurut Alquran. Karena Alquran berisi firman
Allah yang merupakan pencipta manusia yang mengetahui segala sesuatu di luar
kemampuan akal dan rasio manusia itu sendiri. Dan Alquran juga merupakan kitab
yang secara ilmiah terbukti memuat firman Tuhan dan masih asli.
Menurut
Alquran, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan. Jadi, manusia itu berasal dan
datang dari Tuhan. Bila ada argumen yang kuat untuk membuktikan bahwa manusia
bukan ciptaan Tuhan dan argumen itu lebih kuat ketimbang argumen bahwa manusia
adalah ciptaan Tuhan, maka yang akan kita ambil ialah pendapat yang mengatakan
bahwa manusia bukan ciptaan Tuhan. Dan bila itu yang di ambil maka harus juga
di jelaskan bagaimana cara munculnya manusia itu. Kemungkinan ini (manusia
bukan ciptaan Tuhan) sangat tidak mungkin[10].
Dan carilah pada apa yang telah
di anugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berbuat kerusakan. (Q.S. al-Qashash:77)
Menurut Prof.
Dr. Omar Mohammad, bahwa manusia itu memiliki 3 dimensi yaitu badan, akal dan
ruh. Al-Syaibani (1979:130) menyatakan bahwa manusia memiliki
tiga potensi yang sama pentingnya yaitu jasmani, akal dan ruh. Muhammad Quthb
(1988:31) menyatakan bahwa eksistensi manusia ialah jasmani, akal dan ruh;
ketiganya menyusun manusia menjadi satu kesatuan.
Hal ini tidak
bertentangan dengan apa yang tertulis dalam Alquran. Karena dalam surat
al-A’raf ayat 31 Allah berfirman bahwa makan dan minum bagi manusia adalah
suatu keharusan. Yaitu manusia memiliki badan atau jasmani yang harus
senantiasa dijaga kesehatannya. Al-Syaibani (1979:131-132) mengutip tiga hadits
Nabi Muhammad SAW. yang menerangkan bahwa manusia itu mempunyai aspek
jasmaniah. Begitupun dalam Alquran yang banyak mencantumkan pentingnya fungsi
jasmani dalam Islam, diantaranya Q.S. al-Baqarah ayat 57 dan 168:
57. Dan Kami
naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu "manna" dan
"salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah
Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka menganiaya Kami; akan tetapi
merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.
168. Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Kesimpulannya
ialah unsur jasmani merupakan salahsatu esensi (hakikat) manusia[11].
Selain
Jasmani atau badan yang merupakan salah satu esensi manusia, esensi yang tidak
kalah penting adalah akal. Dan ini juga sejalan dengan apa yang difirmankan
Allah SWT dalam Alquran.
Harun
Nasution (1982:39-48) menjelaskan bahwa ada tujuh kata yang digunakan Alquran
untuk mewakili konsep akal. Pertama kata nazara, seperti di dalam surat
Qaaf ayat 6-7, surat al-Thaariq ayat 5-7, al-Ghasiyah 17-20. Kedua kata tadabbara,
seperti dalam surat Shaad ayat 29, surat Muhammad ayat 24. Ketiga kata tafakkara,
seperti di dalam surat an-Nahl ayat 68-69, al-Jatsiyah ayat 12-13. Keempat kata
faqiha, kelima kata tadzakkara, keenam kata fahima, dan
ketujuh kata ‘aqala. Kata-kata itu semua menunjukan bahwa Alquran
mengakui akal adalah aspek penting dalam hakikat manusia[12].
Akal
adalah alat untuk berfikir, maka dari itu salahsatu hakikat manusia adalah ia
ingin, ia mampu dan ia berfikir. Dalam suatu kajian yang membahas hakikat
manusia disebutkan bahwa manusia itu adalah Homo Sapiens yang berarti manusia
adalah makhluk yang mampu berfikir. Namun pertanyaannya, kapan manusia itu
berfikir? Apakah berfikir adalah suatu naluriah manusia atau memang kesenangan
manusia itu berfikir? Menurut Jujun S. Suriasumantri (198:28-29) manusia
berfikir ketika dia sedang menghadapi suatu masalah atau suatu persoalan. Dan
masalah itu bermacam-macam. Ada masalah yang mudah, ada yang sulit menurut
kadar kemampuan manusia. Dari kadar itulah manusia bisa mengatur bagaimana dia
berfikir, apakah dengan mudah memecahkan masalah tersebut atau bahkan sangat
memeras otak.
Abdul
Fattah Jalal (1988:58) menjelaskan kata ‘aqala di dalam Alquran
kebanyakan digunakan dalam bentuk fi’il (kata kerja), hanya sedikit
dalam bentuk isim (kata benda); itu menunjukan bahwa pada akal yang
penting ialah berfikir bukan akal sebagai otak yang berupa benda. Menurut Jalal
juga (1988:58), kata ‘aqala menghasilkan kata ‘aqaluhu, ta’qiluna,
na’qilu, ya’qiluha, dan ya’qiluna, di muat di dalam Alquran pada 49
tempat. Kata al-albaab (jamak dari al-lubb) juga berarti akal,
terdapat di dalam Alquran pada 16 tempat. Tambahan dari Jalal itu memperjelas
pemahaman kita bahwa akal atau berfikir adalah salah satu unsur manusia yang
hakiki.
Diatas
telah dijelaskan dua hal yang merupakan esensi manusia sementara aspek yang
lainnya adalah ruh atau ruhani. Penjelasan dalam Alquran terdapat pada Q.S.
al-Hijr ayat 29 dan Q.S. Shaad ayat 72:
29. Maka
apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya
ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
72. Maka
apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh
(ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya".
Kedua ayat ini menjelaskan bahwa
salah satu unsur hakiki pada manusia adalah ruh.
Telah dijelaskan pada sebelumnya
bahwa hakikat jasmani itu jelas, hakikat akal juga jelas, namun untuk hakikat
yang ketiga yaitu hakikat ruh Allah berfirman dalam Q.S. Al-Isra ayat 85 bahwa
pengetahuan manusia tidak cukup untuk memahami hakikat ruh[13].
Abdul Fattah Jalal mencoba
membedakan antara ruh dan qalb; menurutnya dua potensi itu tidak sama,
tetapi ia tidak menjelaskan perbedaannya dan tidak pula mendefinisikannya.
Menurutnya (1988:62-64), kata al-qalb dan al-quluub tertulis 132
kali di dalam Alquran, di samping itu ada juga kata al-fu’ad yang secara
bahasa berarti al-qalb juga; selain itu Alquran juga menggunakan kata al-shadr
atau shuduur yang berarti dada tetapi menunjuk pengertian al-qalb.
Kesimpulannya: tentang ruh kita tidak mengetahui hakikatnya, kita hanya
tahu bahwa ruh itu ada, menjadi bagian
dari manusia, dan ruh itu esensial[14].
Sedangkan ada yang mengatakan bahwa;
secara harfiah bisa diartikan sebagai angin, nafas, yang merupakan ahkikat dari
manusia yang dengannya manusia dapat hidup dan mengetahui segala sesuatu ruh
berarti juga zat murni yang hidup. Menurut Syafi’i Ma’arif, karena ruh inilah
manusia memiliki kemampuan penalaran, intuisi, kebijakan dan kecerdasan.[15]
Prof.Dr. Ahmad Tafsir pun menyebutkan
bahwa pengkajian mengenai ruh atau al-qalb tadi sangatlah penting,
karena disanalah tempat bersemayamnya iman, bukan di jasmani bukan juga dalam
akal. Namun Abdul Fattah Jalal tidak menjelaskan lebih dalam karena ia juga
mengutip Q.S. Al-Israa’ ayat 85 di atas dan ia hanya mengomentari bahwa ruh itu
ditiupkan pada tanah liat maka hiduplah Adam. Dan ruh itu juga ditiupkan pada
janin, maka hiduplah janin tersebut.
Tentu saja dengan ini kita dapat
fahami bahwa manusia merupakan makhluk jasadiah dan ruhaniah sekaligus.
Realitas yang mendasari dan prinsip yang menyatukan apa yang kemudian dikenal
sebagai manusia bukanlah perubahan jasadnya, melainkan keruhaniannya[16]. Dan sekalipun diciptakan, ruh manusia itu merupakan sesuatu yang
tidak mati dan akan selalu sadar akan dirinya.dan ruh juga memiliki banyak
sebutan sebagaimana yang telah ditulis pada sebelumnya. Sebutan ini selalu
merujuk pada dua makna yaitu merujuk pada aspek jasad dan merujuk pada aspek
keruhanian. Al-Attas menegaskan perbedaan model dari kesatuan ini:
Dengan
demikian, ketika bergelut dengan sesuatu yang berkaitan dengan intelektual dan
pemahaman, ia (yaitu, ruh manusia) disebut “intelek”; ketika mengatur tubuh, ia
disebut “jiwa”; ketika sedang mengalami pencerahan intuisi, ia disebut “hati”;
dan ketika kembali ke dunianya yang abstrak, ia disebut “ruh”. Pada hakikatnya,
ia selalu aktif memanifestasikan dirinya dalam keadaan-keadaan ini[17].
b.
Inti Manusia
Seperti yang
telah disebutkan sebelumnya bahwa inti atau objek dari pendidikan adalah
manusia. Berarti sebelum pendidikan itu dirancang untuk manusia, maka harus
mengetahui betul apa yang menjadi inti manusia. Dan pada subab sebelumnya juga
telah dijelaskan mengenai dua proses penciptaan manusia dan juga unsur yang
terdapat pada manusia menurut para ahli yang tidak bertentangan dengan firman
Allah SWT.
Manusia yang
sejatinya ada makhluk yang kompleks; memiliki tangan, kaki, mata, bibir,
otak—yang bisa digunakan untuk berfikir, dsb. Lalu pada kenyataan inilah banyak
ahli yang kemudian mendesain berbagai model pendidikan apa yang cocok untuk
manusia.
Namun tidak
sedikit orang mendesain pendidikan secara parsial yang belum terintegrasi.
Yaitu hanya mendidik tangan untuk keterampilan, mata, atau juga otak manusia.
Sehingga lupa tujuan pendidikan sesungguhnya yaitu memanusiakan manusia.
Bayangkanlah
anda memegang sebuah bawang merah. Anda kupas bagian paling luar, anda mengupas
kulit bawang; anda kupas lagi, anda mengupas kulit bawang; anda kupas lagi
lapisan ketiga dari luar, anda menemukan kulit bawang lagi. Bawangnya yang
mana? Nah, anda kupas terus. Pada bagian yang paling dalam anda akan menemukan
bawang yang amat kecil. Ini adalah “lembaga” (kotiledon) bawang. Lembaga
inilah yang akan tumbuh bila ditanam. Kulit yang berlapis tadi bukan bawang,
itu hanya kulit bawang, yang tidak akan tumbuh ketika ditanam. Nah, kita harus
mencari kotiledon manusia, yaitu inti manusia. Bila itu ditemukan maka bagian
inilah yang dijadikan sasaran utama pendidikan, maka kita dapat mengharap kita
telah mendidik manusia[18].
Al-Syaibani
mengatakan bahwa manusia itu terdiri
dari tiga unsur yang tidak bisa terlepas satu dan yang lainnya, yaitu jasmani,
akal dan ruhani. Maka dari itu pendidikan harus mengembangkan ketiga unsur
tersebut secara seimbang dan terintegrasi.
Pemikiran Al-Syaibani
tersebut digambarkan melalui segitiga sama kaki yang terdiri dari tiga unsur
tersebut dan haruslah dikembangkan ketiganya[19].
Orang Yunani,
lebih kurang 600 tahun sebelum masehi telah mengingatkan bahwa tugas pendidikan
ialah membantu manusia menjadi manusia. Nah,
tatkala kita mendidik seseorang, seringkali yang kita didik adalah otak (akal)
nya, belum tentu kita mendidik manusia nya, seringkali kita mendidik
tangannya (keterampilan fisik), belum tentu kita mendidik manusia nya. Karenanya
pendidikan yang kita lakukan itu tidak menghasilkan manusia, pendidikan yang
kita lakukan hanya menghasilkan kecerdasan manusia yang belum tentu
menghasilkan berupa manusia yang cerdas; pendidikan yang kita lakukan hanya
menghasilkan keterampilan manusia yang belum tentu berupa manusia yang terampil[20].
Seperti analogi kotiledon bawang merah yang dikemukakan oleh
Prof.Dr. Ahmad Tafsir dalam bukunya, berarti untuk mendesain pendidikan yang
sesuai untuk memanusiakan manusia kita harus mencari apa inti dari manusia itu
sendiri, atau core manusia itu sendiri. Namun, teori Syaibani tidak menjawab
hal tersebut.
Suatu ketika serombongan orang Arab padang pasir datang menemui
Nabi Muhammad SAW. sambil berkata “Ya, Rasul Allah kami telah beriman”. Nabi
yang mulia mengatakan “Janganlah kalian mengatakan kami telah beriman, katakan
saja kami telah tunduk, sebab iman itu belum masuk ke dalam kalbu kalian”[21].
Dari dalil tersebut kita dapat mengetahui bahwa kedudukan iman itu
sangatlah tinggi. Bukan terletak pada jasmani maupun akalnya, melainkan di
dalam kalbu. Sementara pandangan hidup manusia dikendalikan oleh imannya, dan
tempat bersemayam itu adalah kalbu. Maka dari itu kalbu lah yang menjadi
sasaran pendidikan sesungguhna untuk diisi dengan iman.
Hadits Rasulullah SAW (hadits qudsi) menyatakan “Aku jadikan
pada manusia itu ada istana (qashr), di dalam istana itu ada dada (shadr), di
dalam shadr itu ada kalbu (qalb), di dalam qalb itu ada fu’ad, di dalam fu’ad
itu ada syaghaf, di dalam syaghaf itu ada lubb, di dalam lubb itu ada sirr, dan
di dalam sirr itu ada Aku (Ana).”
Dari hadits diatas menjelaskan bahwa aku (ana) itu menjadi inti. Prof.Dr.
Ahmad Tafsir menggambarkannya seperti model atom yang di lingkari oleh
elektron-elektron terluarnya. Dan Ana itu seperti proton yang menjadi inti
elektron yang terletak di tengah-tengah elektron. Dan arti Aku dalam hadits
tersebut adalah Allah, maka yang menjadi inti manusia adalah sesuatu yang
bersifat illahiyah.
Selanjutnya Ahmad Tafsir menganalogikan inti manusia yang berada
dalam kalbu itu ibarat sebuah lilin yang menyala kecil. Lilin itu bisa membesar
bila diberi minyak. Nyala lilin yang awalnya hanya di inti tersebut membesar
menembus siir kemudian menembus lubb kemudian menembus syagaf,
fu’ad, qalb, shadr hingga menembus qashr. Qashr itu adalah salah
satu esensi manusia, yaitu jasmani. Maka ketika lilin menyala sampai qashr,
disanalah kita akan menemukan khalifah Allah di muka bumi. Dan minyak yang
senantiasa diberikan agar lilin menyala besar merupakan pendidikan yang
senantiasa mengedepankan keimanan pada Allah SWT.
[1]
Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal. Bandung:Persis pers
2011, hlm 213
[2]
Ibid, hlm 214
[3]
Ibid
[4]Wan
Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, terj. Hamid Fahmi dkk. Filsafat dan Praktik Pendidikan
Islam Syed M. Naquib Al-Attas. Bandung: Mizan 2003 hlm 95
[5]
Ibid
[6]
Ibid
[7]
Nasruddin Syarief, Menangkal Virus Liberal Islam hlm 216
[8]
Ibid, hlm 218
[9]
Ibid
[10] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat
Pendidikan Islam. Bandung:PT Remaja Rosdakarya offset 2014 hlm 14-15
[11]
Ibid, hlm 16
[12]
Ibid, hlm 17
[13]
Prof.Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam hlm 18
[14]
Ibid
[15]
Drs. Hamdani Hamid M.A., Perbandingan Filsafat Pendidikan. Bandung:CV.
Insan Mandiri 2009 hlm 89
[16]
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam hlm 94
[17]
Ibid
[18]
Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam hlm 25
[19]
Ibid hlm 26
[20]
Ibid hlm 27
[21]
Ibid hlm 28
Komentar
Posting Komentar