Hakikat Manusia



Konsep Manusia menurut Tuhan
1. Proses Penciptaan Manusia
            Membicarakan tentang proses penciptaan manusia, tentu saja tidak akan lepas dari membicarakan tentang Alquran yang juga menjelaskan bagaimana proses terjadinya kelahiran manusia itu sendiri. Sebelum dijelaskan tentang hakikat manusia, maka harus diketahui pula asal-usul manusia, dan bagaimana terjadinya proses penciptaan manusia.
            Alquran dan hadits sangat konsisten menjelaskan bahwa manusia mengalami dua tahap penciptaan. Pertama, tahap ghaib (tak terlihat), yang terjadi di zaman primordial atau azali, dan hanya dapat diketahui melalui pengetahuan wahyu. Kedua, tahap biologis alami, yang manusia sendiri dapat mengetahuinya melalui pengalaman dan pengetahuan ilmiah[1].
a.      Penciptaan Tahap Pertama
Pada tahap pertama, Alquran menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari tiada, dari substansi organik yang rendah dengan sebutan tanah liat gelap (shalshal/hama’), debu dan lumpur (turab/tin lazib), lalu ditiupkan padanya ruh dari Allah SWT[2].

Q.S. Al-Hijr: 28-29
28. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk 29. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
            Pada tahap ini pula, Allah SWT sudah meminta persaksian kepada manusia bahwa Dia adalah Rabbnya, dan semua Bani Adam pun mengutarakan persaksiannya[3].
Q.S. Al-A’raf:172
172. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"
            Al-Attas menyebutkan sebuah konsep keberutangan manusia dengan Tuhan. Kondisi keberutangan ini mencegahnya dari menganggap diri, kehidupan, dan tubuhnya sebagai miliknya yang bisa dipakai semaunya[4].
            Dalam konsepsi Islam mengenai agama, Al-Attas mengatakan bahwa keberutangan itu pada awalnya bermula dari peristiwa yang terjadi ketika manusia belum diberi jasad dan masih berada dalam bagian kesadaran Tuhan, tepatnya pada Waktu Sebelum Perpisahan (Time of the Pre-Separation)[5]. Dan berangkat dari ayat itulah perjanjian Tuhan dengan manusia tersebut terjadi.
            Al-Attas juga mempopulerkan ayat ini sebagai ayat yang menjadikan landasan kesadaran manusia untuk beragama. Karena sejatinya, ketika kita berhutang pada seseorang, maka kita pun harus sanggup untuk membayarnya apalagi ini kita berjanji pada Allah, maka harus dibayar pula dengan kesanggupan kita untuk menaati perintah dan menjauhi larangan Nya.
            Perkara diciptakannya manusia sebagai hamba dan Khalifah Allah SWT di muka bumi telah lama tuntas pada waktu sebelum perpisahan (Time of the Pre-Separation) tepatnya ketika Tuhan mengumumkan kepada para malaikat bahwa Dia akan menciptakan khalifah di atas muka bumi[6]. Sebagaimana di sebutkan dalam Q.S. Al-Mu’minun ayat 12 sampai 14.
b.      Penciptaan tahap kedua
Pada tahap yang kedua ini adalah tahap dimana penciptaan manusia mampu di fahami oleh ilmu pengetahuan: sperma disimpan dalam rahim yang kokoh, kemudian diubah menjadi segumpal darah, yang kemudian dibungkus dengan tulang dan daging[7].

Q.S. Al-Mu’minun:12-14
12. Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.13. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).14. Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.
Dalam hadits, proses penciptaan manusia itu dijelaskan sebagai berikut:
اِنَّ اَحَدَ كُم يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ اُمّهِ اَرْبَعِيْنَ يَوْمًا ثُمّ  يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمّ  يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمّ يَبْعَثُ اللّهُ مَلَكًا فَيُؤمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ لَهُ اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَاَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ ثُمًّ يُنْفَخُ فِيْهِ الرُوْحُ
 “Sesungguhnya masing-masing dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga (40 hari), lalu menjadi segumpal daging selama itu juga (40 hari). Kemudian Allah mengutus malaikat yang diberi perintah dengan empat hal. Difirmankan kepada malaikat itu “Tulislah amalnya, rizkinya, ajalnya, dan celaka atau bahagianya.” Setelah itu ditiupkan kepadanya ruh.
Ini artinya manusia bukanlah sesosok jasad semata yang hidup di alam kasat mata, melainkan seseorang yang juga terikat secara ruhaniah dengan peraturan Rabbnya swt. Selain itu, kehidupannya juga tidak hanya berkutat di alam dunia ini semata, melainkan terikat secara primordial dengan kehidupan pasca-dunia, dimana dia harus mempertanggung jawabkan seluruh amanahya[8]. Sebagaimana ditegaskan-Nya:

Al-mu’minun: 15-16
15. Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.16. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.
            Dalam kaitan ini Alquran dan hadits juga secara konsisten menjelaskan bahwa kebahagiaan dan kesuksesan manusia itu terletak pada sejauh mana dia bisa mempertahankan kesetiaannya berhubungan dengan Rabb dan dengan sendirinya mengutamakan akhirat[9].
2. Unsur dan Inti Manusia
a.      Unsur Manusia
            Di awal sudah dijelaskan hakikat manusia, yang berarti kita harus mempunyai pengertian tentang hakikat manusia itu sendiri untuk mendesain pendidikan apa yang baik untuk manusia. Maka penjelasan yang terbaik adalah penjelasan manusia yang bersumber dari Sang Penciptanya. Seperti seorang tukang mebel akan sangat mengetahui apa yang di buatnya daripada orang lain yang hanya melihat dan membelinya saja. Begitupun manusia, daripada manusia lain yang sebenarnya akal dan kemampuan nalarnya yang terbatas, Allah yang menciptakannya akan lebih tahu daripada manusia itu sendiri. Mengapa di katakan bahwa manusia lemah mengenai akal dan kemampuan berfikirnya? Menurut buku Prof. Dr. Ahmad tafsir,  bukti terbaik tentang keterbatasan akal ialah akal itu tidak mengetahui apa akal itu sendiri.
            Berikut akan di jelaskan hakikat manusia menurut Alquran. Karena Alquran berisi firman Allah yang merupakan pencipta manusia yang mengetahui segala sesuatu di luar kemampuan akal dan rasio manusia itu sendiri. Dan Alquran juga merupakan kitab yang secara ilmiah terbukti memuat firman Tuhan dan masih asli.
            Menurut Alquran, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan. Jadi, manusia itu berasal dan datang dari Tuhan. Bila ada argumen yang kuat untuk membuktikan bahwa manusia bukan ciptaan Tuhan dan argumen itu lebih kuat ketimbang argumen bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan, maka yang akan kita ambil ialah pendapat yang mengatakan bahwa manusia bukan ciptaan Tuhan. Dan bila itu yang di ambil maka harus juga di jelaskan bagaimana cara munculnya manusia itu. Kemungkinan ini (manusia bukan ciptaan Tuhan) sangat tidak mungkin[10].
            Dan carilah pada apa yang telah di anugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (Q.S. al-Qashash:77)
Menurut Prof. Dr. Omar Mohammad, bahwa manusia itu memiliki 3 dimensi yaitu badan, akal dan ruh. Al-Syaibani (1979:130) menyatakan bahwa manusia memiliki tiga potensi yang sama pentingnya yaitu jasmani, akal dan ruh. Muhammad Quthb (1988:31) menyatakan bahwa eksistensi manusia ialah jasmani, akal dan ruh; ketiganya menyusun manusia menjadi satu kesatuan.
Hal ini tidak bertentangan dengan apa yang tertulis dalam Alquran. Karena dalam surat al-A’raf ayat 31 Allah berfirman bahwa makan dan minum bagi manusia adalah suatu keharusan. Yaitu manusia memiliki badan atau jasmani yang harus senantiasa dijaga kesehatannya. Al-Syaibani (1979:131-132) mengutip tiga hadits Nabi Muhammad SAW. yang menerangkan bahwa manusia itu mempunyai aspek jasmaniah. Begitupun dalam Alquran yang banyak mencantumkan pentingnya fungsi jasmani dalam Islam, diantaranya Q.S. al-Baqarah ayat 57 dan 168:

57. Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu "manna" dan "salwa. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka menganiaya Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.

168. Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
            Kesimpulannya ialah unsur jasmani merupakan salahsatu esensi (hakikat) manusia[11].
            Selain Jasmani atau badan yang merupakan salah satu esensi manusia, esensi yang tidak kalah penting adalah akal. Dan ini juga sejalan dengan apa yang difirmankan Allah SWT dalam Alquran.
            Harun Nasution (1982:39-48) menjelaskan bahwa ada tujuh kata yang digunakan Alquran untuk mewakili konsep akal. Pertama kata nazara, seperti di dalam surat Qaaf ayat 6-7, surat al-Thaariq ayat 5-7, al-Ghasiyah 17-20. Kedua kata tadabbara, seperti dalam surat Shaad ayat 29, surat Muhammad ayat 24. Ketiga kata tafakkara, seperti di dalam surat an-Nahl ayat 68-69, al-Jatsiyah ayat 12-13. Keempat kata faqiha, kelima kata tadzakkara, keenam kata fahima, dan ketujuh kata ‘aqala. Kata-kata itu semua menunjukan bahwa Alquran mengakui akal adalah aspek penting dalam hakikat manusia[12].
            Akal adalah alat untuk berfikir, maka dari itu salahsatu hakikat manusia adalah ia ingin, ia mampu dan ia berfikir. Dalam suatu kajian yang membahas hakikat manusia disebutkan bahwa manusia itu adalah Homo Sapiens yang berarti manusia adalah makhluk yang mampu berfikir. Namun pertanyaannya, kapan manusia itu berfikir? Apakah berfikir adalah suatu naluriah manusia atau memang kesenangan manusia itu berfikir? Menurut Jujun S. Suriasumantri (198:28-29) manusia berfikir ketika dia sedang menghadapi suatu masalah atau suatu persoalan. Dan masalah itu bermacam-macam. Ada masalah yang mudah, ada yang sulit menurut kadar kemampuan manusia. Dari kadar itulah manusia bisa mengatur bagaimana dia berfikir, apakah dengan mudah memecahkan masalah tersebut atau bahkan sangat memeras otak.
            Abdul Fattah Jalal (1988:58) menjelaskan kata ‘aqala di dalam Alquran kebanyakan digunakan dalam bentuk fi’il (kata kerja), hanya sedikit dalam bentuk isim (kata benda); itu menunjukan bahwa pada akal yang penting ialah berfikir bukan akal sebagai otak yang berupa benda. Menurut Jalal juga (1988:58), kata ‘aqala menghasilkan kata ‘aqaluhu, ta’qiluna, na’qilu, ya’qiluha, dan ya’qiluna, di muat di dalam Alquran pada 49 tempat. Kata al-albaab (jamak dari al-lubb) juga berarti akal, terdapat di dalam Alquran pada 16 tempat. Tambahan dari Jalal itu memperjelas pemahaman kita bahwa akal atau berfikir adalah salah satu unsur manusia yang hakiki.
            Diatas telah dijelaskan dua hal yang merupakan esensi manusia sementara aspek yang lainnya adalah ruh atau ruhani. Penjelasan dalam Alquran terdapat pada Q.S. al-Hijr ayat 29 dan Q.S. Shaad ayat 72:

29. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.

72. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya".
            Kedua ayat ini menjelaskan bahwa salah satu unsur hakiki pada manusia adalah ruh.
            Telah dijelaskan pada sebelumnya bahwa hakikat jasmani itu jelas, hakikat akal juga jelas, namun untuk hakikat yang ketiga yaitu hakikat ruh Allah berfirman dalam Q.S. Al-Isra ayat 85 bahwa pengetahuan manusia tidak cukup untuk memahami hakikat ruh[13].
            Abdul Fattah Jalal mencoba membedakan antara ruh dan qalb; menurutnya dua potensi itu tidak sama, tetapi ia tidak menjelaskan perbedaannya dan tidak pula mendefinisikannya. Menurutnya (1988:62-64), kata al-qalb dan al-quluub tertulis 132 kali di dalam Alquran, di samping itu ada juga kata al-fu’ad yang secara bahasa berarti al-qalb juga; selain itu Alquran juga menggunakan kata al-shadr atau shuduur yang berarti dada tetapi menunjuk pengertian al-qalb. Kesimpulannya: tentang ruh kita tidak mengetahui hakikatnya, kita hanya tahu  bahwa ruh itu ada, menjadi bagian dari manusia, dan ruh itu esensial[14].
            Sedangkan ada yang mengatakan bahwa; secara harfiah bisa diartikan sebagai angin, nafas, yang merupakan ahkikat dari manusia yang dengannya manusia dapat hidup dan mengetahui segala sesuatu ruh berarti juga zat murni yang hidup. Menurut Syafi’i Ma’arif, karena ruh inilah manusia memiliki kemampuan penalaran, intuisi, kebijakan dan kecerdasan.[15]
           Prof.Dr. Ahmad Tafsir pun menyebutkan bahwa pengkajian mengenai ruh atau al-qalb tadi sangatlah penting, karena disanalah tempat bersemayamnya iman, bukan di jasmani bukan juga dalam akal. Namun Abdul Fattah Jalal tidak menjelaskan lebih dalam karena ia juga mengutip Q.S. Al-Israa’ ayat 85 di atas dan ia hanya mengomentari bahwa ruh itu ditiupkan pada tanah liat maka hiduplah Adam. Dan ruh itu juga ditiupkan pada janin, maka hiduplah janin tersebut.
            Tentu saja dengan ini kita dapat fahami bahwa manusia merupakan makhluk jasadiah dan ruhaniah sekaligus. Realitas yang mendasari dan prinsip yang menyatukan apa yang kemudian dikenal sebagai manusia bukanlah perubahan jasadnya, melainkan keruhaniannya[16]. Dan sekalipun diciptakan, ruh manusia itu merupakan sesuatu yang tidak mati dan akan selalu sadar akan dirinya.dan ruh juga memiliki banyak sebutan sebagaimana yang telah ditulis pada sebelumnya. Sebutan ini selalu merujuk pada dua makna yaitu merujuk pada aspek jasad dan merujuk pada aspek keruhanian. Al-Attas menegaskan perbedaan model dari kesatuan ini:
Dengan demikian, ketika bergelut dengan sesuatu yang berkaitan dengan intelektual dan pemahaman, ia (yaitu, ruh manusia) disebut “intelek”; ketika mengatur tubuh, ia disebut “jiwa”; ketika sedang mengalami pencerahan intuisi, ia disebut “hati”; dan ketika kembali ke dunianya yang abstrak, ia disebut “ruh”. Pada hakikatnya, ia selalu aktif memanifestasikan dirinya dalam keadaan-keadaan ini[17].

b.      Inti Manusia
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa inti atau objek dari pendidikan adalah manusia. Berarti sebelum pendidikan itu dirancang untuk manusia, maka harus mengetahui betul apa yang menjadi inti manusia. Dan pada subab sebelumnya juga telah dijelaskan mengenai dua proses penciptaan manusia dan juga unsur yang terdapat pada manusia menurut para ahli yang tidak bertentangan dengan firman Allah SWT.
Manusia yang sejatinya ada makhluk yang kompleks; memiliki tangan, kaki, mata, bibir, otak—yang bisa digunakan untuk berfikir, dsb. Lalu pada kenyataan inilah banyak ahli yang kemudian mendesain berbagai model pendidikan apa yang cocok untuk manusia.
Namun tidak sedikit orang mendesain pendidikan secara parsial yang belum terintegrasi. Yaitu hanya mendidik tangan untuk keterampilan, mata, atau juga otak manusia. Sehingga lupa tujuan pendidikan sesungguhnya yaitu memanusiakan manusia.
Bayangkanlah anda memegang sebuah bawang merah. Anda kupas bagian paling luar, anda mengupas kulit bawang; anda kupas lagi, anda mengupas kulit bawang; anda kupas lagi lapisan ketiga dari luar, anda menemukan kulit bawang lagi. Bawangnya yang mana? Nah, anda kupas terus. Pada bagian yang paling dalam anda akan menemukan bawang yang amat kecil. Ini adalah “lembaga” (kotiledon) bawang. Lembaga inilah yang akan tumbuh bila ditanam. Kulit yang berlapis tadi bukan bawang, itu hanya kulit bawang, yang tidak akan tumbuh ketika ditanam. Nah, kita harus mencari kotiledon manusia, yaitu inti manusia. Bila itu ditemukan maka bagian inilah yang dijadikan sasaran utama pendidikan, maka kita dapat mengharap kita telah mendidik manusia[18].
Al-Syaibani mengatakan bahwa  manusia itu terdiri dari tiga unsur yang tidak bisa terlepas satu dan yang lainnya, yaitu jasmani, akal dan ruhani. Maka dari itu pendidikan harus mengembangkan ketiga unsur tersebut secara seimbang dan terintegrasi.
Pemikiran Al-Syaibani tersebut digambarkan melalui segitiga sama kaki yang terdiri dari tiga unsur tersebut dan haruslah dikembangkan ketiganya[19].
Orang Yunani, lebih kurang 600 tahun sebelum masehi telah mengingatkan bahwa tugas pendidikan ialah membantu manusia menjadi manusia. Nah, tatkala kita mendidik seseorang, seringkali yang kita didik adalah otak (akal) nya, belum tentu kita mendidik manusia nya, seringkali kita mendidik tangannya (keterampilan fisik), belum tentu kita mendidik manusia nya. Karenanya pendidikan yang kita lakukan itu tidak menghasilkan manusia, pendidikan yang kita lakukan hanya menghasilkan kecerdasan manusia yang belum tentu menghasilkan berupa manusia yang cerdas; pendidikan yang kita lakukan hanya menghasilkan keterampilan manusia yang belum tentu berupa manusia yang terampil[20].
Seperti analogi kotiledon bawang merah yang dikemukakan oleh Prof.Dr. Ahmad Tafsir dalam bukunya, berarti untuk mendesain pendidikan yang sesuai untuk memanusiakan manusia kita harus mencari apa inti dari manusia itu sendiri, atau core manusia itu sendiri. Namun, teori Syaibani tidak menjawab hal tersebut.
Suatu ketika serombongan orang Arab padang pasir datang menemui Nabi Muhammad SAW. sambil berkata “Ya, Rasul Allah kami telah beriman”. Nabi yang mulia mengatakan “Janganlah kalian mengatakan kami telah beriman, katakan saja kami telah tunduk, sebab iman itu belum masuk ke dalam kalbu kalian”[21].
Dari dalil tersebut kita dapat mengetahui bahwa kedudukan iman itu sangatlah tinggi. Bukan terletak pada jasmani maupun akalnya, melainkan di dalam kalbu. Sementara pandangan hidup manusia dikendalikan oleh imannya, dan tempat bersemayam itu adalah kalbu. Maka dari itu kalbu lah yang menjadi sasaran pendidikan sesungguhna untuk diisi dengan iman.
Hadits Rasulullah SAW (hadits qudsi) menyatakan “Aku jadikan pada manusia itu ada istana (qashr), di dalam istana itu ada dada (shadr), di dalam shadr itu ada kalbu (qalb), di dalam qalb itu ada fu’ad, di dalam fu’ad itu ada syaghaf, di dalam syaghaf itu ada lubb, di dalam lubb itu ada sirr, dan di dalam sirr itu ada Aku (Ana).”
Dari hadits diatas menjelaskan bahwa aku (ana) itu menjadi inti. Prof.Dr. Ahmad Tafsir menggambarkannya seperti model atom yang di lingkari oleh elektron-elektron terluarnya. Dan Ana itu seperti proton yang menjadi inti elektron yang terletak di tengah-tengah elektron. Dan arti Aku dalam hadits tersebut adalah Allah, maka yang menjadi inti manusia adalah sesuatu yang bersifat illahiyah.
Selanjutnya Ahmad Tafsir menganalogikan inti manusia yang berada dalam kalbu itu ibarat sebuah lilin yang menyala kecil. Lilin itu bisa membesar bila diberi minyak. Nyala lilin yang awalnya hanya di inti tersebut membesar menembus siir kemudian menembus lubb kemudian menembus syagaf, fu’ad, qalb, shadr hingga menembus qashr. Qashr itu adalah salah satu esensi manusia, yaitu jasmani. Maka ketika lilin menyala sampai qashr, disanalah kita akan menemukan khalifah Allah di muka bumi. Dan minyak yang senantiasa diberikan agar lilin menyala besar merupakan pendidikan yang senantiasa mengedepankan keimanan pada Allah SWT.

           



[1] Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal. Bandung:Persis pers 2011, hlm 213
[2] Ibid, hlm 214
[3] Ibid
[4]Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas, terj. Hamid Fahmi dkk. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. Bandung: Mizan 2003 hlm 95
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Nasruddin Syarief, Menangkal Virus Liberal Islam hlm 216
[8] Ibid, hlm 218
[9] Ibid
[10]  Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam. Bandung:PT Remaja Rosdakarya offset 2014 hlm 14-15

[11] Ibid, hlm 16
[12] Ibid, hlm 17
[13] Prof.Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam hlm 18
[14] Ibid
[15] Drs. Hamdani Hamid M.A., Perbandingan Filsafat Pendidikan. Bandung:CV. Insan Mandiri 2009 hlm 89
[16] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam hlm 94
[17] Ibid
[18] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam hlm 25
[19] Ibid hlm 26
[20] Ibid hlm 27
[21] Ibid hlm 28

Komentar

Postingan Populer