Bukan sebuah kegagalan
Katakan saja statement itu
seperti itu. Seperti ketika kita hanya menginginkan sebuah permen yang tak
seberapa harganya. Katakanlah pernyataan itu sebegitu mudahnya keluar dari
mulut kita. Walaupun implikasinya kita sama-sama tahu, bahwa itu adalah berat.
Ibarat kata sebuah beban berat, yang terlihat mustahil untuk dibawa, namun
masih ada jalan keluarnya. Misalnya, dengan sebuah alat berat atau bahkan
dipikul bersama. Begitu pula dalam masalah kehidupan yang acapkali di katakan
sebagai sebuah beban yang amat berat. Yang sering dikatakan sulit untuk
dilalui. Tapi ingat, kita punya alternatif yang bukan satu pintu. Banyak pintu.
Bahkan ada 1000 cara untuk melaluinya. Mungkin kita saja yang tak mencari cara
tersebut atau celah tersebut dimana letaknya.
Na cheorom. Sama sepertiku. Aku
berada di sebuah tempat yang bahkan tak pernah aku bayangkan. Sebuah sekolah
dengan infrastruktur yang sama sekali tak pernah aku impi-impikan. Dengan
management yang sama sekali tak pernah aku inginkan. Aku memang tidak pantas
menyebutkan kampusku saat ini sangat buruk, namun aku benar-benar menolak
berada disana sedikit banyaknya sebenarnya. Mungkin salahsatunya adalah
kesalahanku. Kesalahan segala usahaku selama ini. walaupun sebenarnya aku tak
pernah ingin menyerah tentang akademik. Walaupun sebenarnya aku tetap ingin
berjuang dan berusaha membahagiakan orang tuaku. Mendapatkan Ridho Illahi
tentunya. Tapi kini aku di tempatkan di sebuah tempat yang kaya ilmu namun aku masih belum bisa
menerimanya sepenuhnya.
Tabel akademik memang bukan
hanya soal infrastruktur dan management, tapi aku yakin keduanya tidak dapat di
pisahkan dengan kemajuan akademik sehebat apapun itu. Seperti kemajuan sebuah
kurikulum, tidak bisa hanya diukur dan dimajukan atas satu aspek. Sama saja itu
sebuah kemustahilan yang luar biasa.
Berulang kali aku berkata kepada
diriku bahwa ini adalah bukan sebuah kegagalan. Ini adalah awal langkah untuk
aku memperbaiki semua
keganjilan-keganjilan yang sering kali kulakukan. Berulang kali pula aku
meyakinkan diriku bahwa ini adalah sebuah tamparan besar agar aku lebih giat
untuk melangkah dan meniti jalan ke depan.
Namun, lebih dari apa yang aku bayangkan sebelumnya walaupun aku tahu
betapa tersiksanya ketika kita di tolah oleh beberapa universitas, betapa
sakitnya hanya menjadi pengangguran dan berdiam diri tanp arti. Aku layaknya
sistem imun ketika di serang sebuah virus, kembali menolak, memerangi, melawan
dan melakukan tindakan-tindakan seperti aku memang tidak menginginkannya.
Sudah lebih dari enam bulan aku
dicatat sebagai salah satu mahasiswa goblok di sekolah tinggi swasta di
Kabupaten Garut. Namun aku tak kunjung menemukan suatu hal yang membuat aku
ingin bertahan di ranah ini. tak ada sesuatu yang membuat aku kembali tergiur dengan
sekolah itu. Manusianya, pelajarannya, dan masih banyak lagi. Walau bagaimana
pun aku sudah di anggap sebagai salah satu keluarga mereka. Namun aku masih
enggan untuk mengakui kalau mereka itu adalah keluargaku.
Walaupun kejadiannya sama ketika
aku baru masuk di pesantren lamaku, aku enggan menyebut mereka sebagai sebuah
keluargaku, namun pada endingnya, aku jugalah yang merasa sedih karena
kenyataanya aku harus berpisah dengan mereka. Begitu aneh memang kehidupan ini,
begitu banyak misteri yang tak bisa kita pecahkan begitu saja. Ada kalanya kita seperti gajah yang membenci
semut. Adakalanya kita seperti harimau yang mencintai anaknya. Kita tak tahu
kapan kebencian itu akan pudar dan cinta itu akan mulai tumbuh. Dan kita juga
tak tahu kapan cinta itu akan muncul menyokong tubuh kita yang lemah dan
membelainya dengan sebuah kehangatan.
Tapi walau begitu, aku tak sama
sekali membenci takdir ini. aku hanya acapkali membenci diriku sendiri yang
bahkan tak bisa banyak berbuat di dunia yang seharusnya kita genggam dengan
sebelah tangan saja. Aku seringkali membenci diriku sendiri yang bahkan belum
bisa memberi balasan kepad orang-orang yang selama ini terus memaksaku untuk
tersenyum dan bersabar di atas segalanya. Aku belum mampu memberikan feed back
kepada mereka yang bahkan sering aku kecewakan. Aku belum melakukan apapun
selama 19 tahun menuju 20 tahun ini.
Mungkin banyak diantara rekan
sejawatku yang sering merasakan demikian,
merasa bahwa hidupnya sama sekali tak bermakna. Tak mampu berbuat
apa-apa dan hanya menyusahkan orang sekitar. Bahkan aku sendiri pun pernah
merasakan hal yang demikian.
Tapi rekan, sbelum kita terus
mengeluh dengan apa yang menimpa kita sekarang, ingatlah apa yang telah kita
lalui selama ini. ingatlah peluh-peluh yang kita keluarkan demi mencapai posisi
sekarang yang rekan katakan bukan apa-apa. Ingatlah berapa kali rekan terjatuh
karenanya kemudian bangkit kembali dengan senyuman keikhlasan. Ingat, kita
masih mempunyai Allah dan Iman yang selalu kita pegang dan kita tancapkan dalam-dalam
ke jantung kita. Otak dari segala otak. Bukan sebuah yang memalukan kan ketika
kita di tolah oleh sekolah negeri? Toh mereka juga tidak mempunyai asuransi
sebagai penjamin mahasiswanya untuk sukses. Apa yang sebenarnya kita butuhkan
untuk mencapai top rekor itu? Passion. Keinginan. Usaha. Sama seperti mantera
para santri, yaitu Ikhtiar dan tawakal. Kalau sudah Ikhtiar namun belum
tercapai, berarti Allah belum menghendakinya untuk menjadi seperti apa yang
kita inginkan.
Seperti sebuah drama, apakah
pemain drama itu pantas untuk memrotes sang penulis manuskrip? Tentu tidak.
Karena merekalah yang mempunyai projek tersebut, bukan si pemain yang hanya
menjadi peran yang diinginkan sutradara dan penulis manuskrip tersebut.
Begitupun Allah, apapun yang Allah kehendaki, kita tak pantas untuk
memrotesnya, karena sebagai sutradara kehidupan, Allah Maha Mengetahui apa yang
kita butuhkan dan apa yang seharusnya kita tinggalkan. Suka atau tidak. Jelas
itu adalah hak Prerogratif Allah. Kita tak punya hak apapun. Karena sejatinya
kita tak sama sekali mengetahui apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Kita hanya sering berkutat dengan apa yang terjadi hari ini dan bagaimana kita
bisa untuk bertahan hidup. Itulah manusia. Banyak mengeluh dan sedikit bersyukur.
Mulai saat ini, mari kita ganti
statement sebuah kegagalan itu menjadi sebuah takdir dari sang penulis
manuskrip yang tak pantas kita protes. Tugas kita hanyalah untuk bermain dengan
sebaik mungkin.
Komentar
Posting Komentar