Kesedihan orang terpinggirkan


http://1.bp.blogspot.com/_NyqdiyN_emg/TSRsBT4ICwI/AAAAAAAAACM/afxptvDL5ho/s1600/orang_pinggiran.jpg

Bukan. bukan hanya orang pinggiran yang merasa sedih. bukan hanya orang fakir yang terpinggirkan. bukan hanya orang yang tidak punya uang yang terpinggirkan. terkadang, ketika hati kita, diri kita merasa terpinggirkan, kesedihan itu bahkan melebihi orang yang tidak memiliki harta. lalu untuk apa kita mempunyai hara berlimpah tapi batin kita tidak bahagia? ketika kita memiliki keluarga yang bahagia, teman yang setia, sahabat yang selalu ada, kita akan merasa lebih bahagia walaupun kita tidak memiliki sepeser pun koin uang untuk hidup.karena hati kita akan hidup oleh hadirnya mereka disisi kita.
Guru besar saya pernah memberikan saya dan kawan kawan sebuah motivasi untuk tetap berada di pesantren. kendala kami waktu itu adalah kami tidak diperbolehkan memegang elektronik di asrama, termasuk ponsel. kami seris protes mengenai ultimatum itu, qanun itu. tapi beliau tersenyum dan menjawab, "Jika kini kalian ada di rumah dengan memegang sebuah handphone, lalu kalian merasa badmood, merasa kesepian, maka kalian akan menelefon teman kalian. kalian akan merasa tidak lagi kesepian pada saat itu. Tapi, teman kalian ingin mengakhiri pembicaraan itu, karena itu dia bilang 'telinga saya sudah panas'. mau tidak mau, sambungan telefon itu pun harus diputus. kesepian pun kembali hadir. tetapi akan beda ketika posisi kalian berada di asrama, berada ditengah teman teman kalian yang terus berbicara, dan yang selalu membuat kalian tertawa. dan tidak akan merasa panas telinga karena speaker handphone yang terus ditempelkan ke telinga, ketika mereka bosan mengobrol, mereka akan mengakhirinya, dan ketika mereka ingin, mereka akan kembali menyambung obrolan mereka sesuka hati. Inilah yang kalian butuhkan...jiwa jiwa yang asli, bukan sebatas komunikasi lewat handphone"
Hidup dan bersosialisasi adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan layaknya kopi dan gula. tanpa gula, kopi pun akan pahit.begitu pun hidup, tanpa adanya sosialisasi hidup pun akan terasa pahit dan hampa.
namun memang betul, terkadang jika kita beranggapan bahwa semua orang itu adalah sahabat, kita tidak punya sandaran, semuanya akan berlalu dengan dada yang sesak. ketika semua orang berjalan, saling berbagi, saling berbagi cerita, saling tertawa dengan sahabat sahabatnya, kita hanya hadir ditengah tengah mereka sebagai benalu, sebagai kambing congek yang tidak dianggap ada. ketika itu pula, sukma kita terus menangis, menangis sambil meneriakan kesakitan. bukan air mata yang harus keluar dari mata, tapi hati yang luka lah sebagai buktinya.
kita menginginkan sahabat yang setia, yang selalu menemani kita kapan pun, dimana pun. tapi kita tidak siap ketika sahabat itu harus tiba tiba pergi meninggalkan kita tanpa alasan yang jelas.
inilah klimaksnya, inilah puncak kesedihan itu. sebagai orang terpinggirkan atau 'dicuekin' lebih dari sakit seribu jahitan. mungkin hal itu yang menjadi mayoritas orang orang selalu menyebut dirinya 'galau'.
tapi, kembali bercermin pada diri, sesungguhnya jalan menuju kesuksesan itu tidak satu, melainkan beribu ribu. tinggal kita yang menjadi penentu kemanakah kaki kita akan dilangkahkan.
begitupun kesedihan, bagaimana kita menyikapinya. jika kita tidak ingin menjadi orang yang rugi, maka kita harus berhenti menangis, berhenti bersedih, berhenti meratapi karena sesuatu yang sepele. karena membuka lembaran putih yang baru akan jauh lebih baik daripada kita harus meneruskan menulis di kertas yang penuh dengan goresan.

Komentar

Postingan Populer